Belakangan hubungan antar dua negara bertetangga ini kembali 'memanas'.
Berulangkali Indonesia (sebagai bangsa, bukan sebagai pemerintah) merasa kecolongan oleh ulah Malaysia.
Dimulai dari hilangnya Sipadan dan Ligitan, diusirnya pendatang tanpa izin Indonesia dari Malaysia, ditembakinya nelayan-nelayan kita di perairan nasional Indonesia di Sumatra (oleh Tentara Diraja Malaysia), sengketa Ambalat, sampai disiksa dan matinya TKI-TKI kita.
Kasus terakhir yg kembali menyentak adalah dipukulinya wasit Karate Indonesia oleh 4 orang polisi Malaysia. Wasit yang merupakan tamu undangan Malaysia untuk Turnamen Karate Internasional ini pulang ke tanah air duduk di kursi roda, terancam kehilangan pendengaran, terganggu penglihatan dan pendarahan di kemaluannya.
Hal ini terasa mengganggu bagi saya.
Dari satu sisi Indonesia memang tidak sepenuhnya bersih dari kesalahan. Utamanya di kasus banyaknya pendatang liar kita yang merusak dan mengacau di negeri orang. Ini dikarenakan lemahnya sistem informasi kependudukan dan imigrasi kita.
Tapi di sisi lain adalah betapa lemahnya posisi tawar kita dalam setiap kasus ini.
Kasus Sipadan Ligitan contohnya. Indonesia kalah dikarenakan Malaysia sudah terlebih dahulu membangun resort di pulau-pulau itu. Ditambah lagi TDM Laut sudah lebih dulu melakukan patroli rutin disana. Mereka lakukan itu semua dengan tenang tanpa takut akan 'gangguan' dari pihak berwenang Indonesia.
Kasus TKI, seolah-olah bangsa kitalah yang butuh setengah mati untuk bekerja di sana (sepertinya pernyataan ini benar dan bukan seolah-olah) sehingga segera semua yang datang liar dipulangkan untuk dilengkapi dokumennya lantas dikirim balik. Lagi-lagi walaupun hal ini sempat melumpuhkan industri konstruksi Malaysia, mereka tetap lakukan hal ini dengan tenang tanpa melirik sebelah matapun pada Indonesia.
TDM Laut Malaysia menembaki dan melukai ABK kapal nelayan di perairan Sumatra Utara dengan tanpa rasa bersalah. Ketika mereka semua naik ke atas kapal, nelayan kita bertanya apa salah mereka? Mereka ada di perairan Indonesia. Tanpa minta maaf atau berkata apa-apa, TDM Laut itu hanya melirik sekilas ke semua ABK yang tergeletak diterjang peluru dan kembali ke kapal mereka. Melanjutkan 'patroli'.
TNI AL dengan kapal 'antik'-nya tak bisa berbuat apa-apa ketika menerima laporan. Bahkan mengidentifikasikan TDM Laut bermata gelap itupun tak bisa dilakukan.
Ini menyakitkan.
Ini membuka mata betapa bangsa kita sudah tertinggal dibanding tetangga satu ini.
Bidang ekonomi tak usahlah dibahas, semua tahu betapa sedang sempitnya terasa bernapas di kubangan lumpur ekonomi Indonesia.
Tapi di bidang militer yang seharusnya jadi efek penangkal pun kita kalah jauh!
Hemat saya, militer kita haruslah kuat dan mempunyai kemampuan ofensif.
Karena hanya dengan begitulah maka efek tangkal akan dirasakan oleh negara-negara sekitar.
Yang jadi masalah sekarang lagi-lagi masalah dana. Modernisasi peralatan perang kita makan banyak uang, yang sialnya tidak banyak tersedia. Ditambah lagi strategi pertahanan kita yang lalu yang lebih berat ke Angkatan Darat.
Sebagai negara kepulauan (terbesar di dunia), seharusnya Angkatan Laut dan Udara kitalah yang lebih kuat dan mumpuni. Kebutuhan ini sudah tidak bisa ditawar-tawar. Minimal untuk menjaga kedaulatan dan tapal batas, Angkatan Laut kita harus dibenahi.
Caranya apakah beli dari luar lagi? Untuk peralatan-peralatan strategis seperti ini kalaupun belum bisa dibuat sempurna, sebaiknya Indonesia sudah mulai membikin sendiri. Dephan haruslah mendorong industri strategis kita untuk berkembang dengan cara menjadi pembeli pertamanya.
Toh penyempurnaan pasti akan dilakukan seiring dengan terujinya produk di lapangan.
PT PAL haruslah diberdayakan. PAL harus bisa membuat minimal sekelas Fregat atau Kapal Perusak untuk kebutuhan Angkatan Laut kita. Kalau kelas patroli pantai rasanya sudah bisa buat.
Kalau PAL kebagian membuat platformnya, maka LAPAN bisa bantu dengan peluru kendali, Pindad menyumbang senjata berat konvensional, sementara PT DI menyumbang helikopter dan sistem navigasi pertahanannya. Saya kok yakin sebenarnya kita bisa.
Setelah Angkatan Laut, rasanya minimal Sistem radar kita dibenahi. Daerah Timur Indonesia sangatlah banyak yang bolong. Di masa pergolakan Tim-Tim lepas dari Indonesia di saat yang sama pula banyak pesawat dan helikopter Australia terbang wara-wiri Tim-Tim - Maluku. Saat itu di Maluku sedang marak pula gerakan separatis RMS yang mendompleng perang agama antar saudara.
Sistem radar kita lemah.
Sambil membenahi sistem radar ini mungkin dapat pula dimulai pembuatan pesawat jet tempur nasional, awalnya mungkin dari lisensi atau bahkan kalau mau ekstrim seperti China. Beli pesawat dari Amerika/Rusia, lalu dipreteli. Dipelajari disainnya dan ditiru mentah-mentah.
Hasilnya sekarang China sudah bisa buat pesawat tempur sendiri.
Kalau memang dirasa berat juga, paling tidak PINDAD yang sudah berhasil membuat peluru kendali jarak menengah dapat dikaryakan untuk membuatnya dalam jumlah massal. Peluru-peluru kendali inilah yang harus disebar di penjuru negeri menggantikan peran pesawat tempur bila ada penyusup (wah.. hehehe.. peluru kendalinya Pindad sudah secanggih ini belum yah?)
Kalau sudah begini, Tentara bisa mandiri dari ketergantungan senjata pada pihak luar paling tidak negara-negara tetangga mikir berkali-kali buat macam-macam.
Sukur-sukur para koruptor keparat perampok uang rakyat itu bisa mulai dihukum mati.
Hal lain yang tak kalah pentingnya (malah bisa jadi jauh lebih penting) adalah membenahi sistem pendidikan kita. Supaya bangsa kita tidak harus pergi menjadi kacung di negeri orang hanya untuk menghidupi sanak keluarganya.
Kalaupun harus pergi ke negeri orang, paling tidak tak mesti jadi pembersih pantat anak majikan lah. Tapi kalau memang masih mau juga.. Pemerintah harus beri perhatian lebih pada kemampuan komunikasi. Aspek bahasa, utamanya Bahasa Asing.
Karena dengan mengerti bahasa setempat, Pekerja-pekerja Migran kita bisa membaca sendiri peraturan di negara orang dan bisa mengerti haknya.
Jangan ada lagi kasus pekerja kita ditipu tak dibayar upahnya atau bahkan dituduh macam-macam hanya karena secara legal dia menandatangani peraturan yang membacanya pun sudah bikin matanya keriting.
Ah.. jadi kemana-mana, cuma gara-gara hati geram membaca tingkah polah negara tetangga.
Tapi mungkin mental orang kita harus seperti itu. Kesandung dulu baru belajar. Dipukuli dulu baru cari guru beladiri. Hilang dulu Sipadan Ligitan, baru mau beli Kapal Laut. Dipandang sebelah mata dulu oleh Singapur, baru cari kreditan beli pesawat tempur dan kapal selam..
Mudah-mudahan sejak kasus ini semua jadi mau belajar.
(Temasek, 31 Aug 07)
No comments:
Post a Comment