Di dekat kontrakan saya ada sebuah rumah, letaknya di pojokan tepat di perempatan jalan. Rumahnya biasa saja sih.. sudah lama sepertinya. Di rumah itu tinggal para pekerja konstruksi yg sepertinya berasal dari sebuah anak benua di Asia.
Biasanya saya tak terlalu hirau dengan rumah ini dan penghuninya, walaupun beberapa kali lewat kalau sedang berjalan menuju rumah.
Tapi sudah sejak beberapa hari ini sejak kantor pindah saya harus mengambil rute lain untuk pulang ke rumah, jadi selalu melewati rumah ini dan selalu saja ada hal menarik untuk saya perhatikan dari penghuninya..
Mereka tinggal beramai-ramai, sepertinya masih muda-muda.. paling tua samalah umurnya dengan saya..
Sebagaimana layaknya pekerja migran di negara kota ini, hidup mereka sangatlah bersahaja. Mengontrak rumah ramai-ramai, memasak bersama (wangi masakan mereka sering tercium kala saya sedang jalan dari halte ke rumah), bersenda gurau di beranda ataupun seringkali terlihat mereka sedang sholat bersama di ruang tengah yg tak seberapa luas.
Tadi malam bahkan saya dapati mereka sedang asyik menyimak salah seorang yg sepertinya sedang menyampaikan nasihat agama (rumah kontrakan di pojok jalan ini tidak punya gorden, jadi kegiatan di ruang tengah rumah terlihat dengan jelas), sungguh... tersentuh rasanya hati melihat kesahajaan mereka di negeri orang.
Terutama kalau mengingat betapa seringnya tatap sinis mereka terima; dari orang-orang yg berhutang jasa pada mereka; hanya karena kelamnya warna kulit yg dianugerahkan Tuhan pada bangsa mereka..
Beberapa malam lalu saya pulang agak larut, setelah menemani seorang teman yang sedang limbung akan kehidupan rumahtangganya. Dan seperti biasa seturun dari halte, saya melewati rumah di perempatan jalan itu. Kali ini penghuni-penghuninya sedang duduk berkumpul di beranda, berbincang2 santai sambil mengipas-ngipas. Wah, baru selesai sholat rupanya..
Tapi bukan itu yg menarik perhatian saya..
Seorang penghuni terlihat duduk di pojokan, menyendiri di atas tanggul pembatas saluran air. Matanya terlihat masygul dan ragu-ragu sambil melihat tangannya yang memain-mainkan selembar kartu telepon SLI.. Ketika ia mengangkat wajahnya saya bisa lihat tatap matanya.. Mata itu mata yang sedang merindu..
Ia mengangkat wajah menengadah ke langit sambil menghembus nafas panjang.. selembar kartu SLI itu masih dimain2kannya di tangan kanan, sementara tangan kiri menggenggam handphone yang seakan dipencet dengan ragu-ragu..
Saya tahu yang ada di benaknya... rindu dan kangen pada keluarga.. mungkin pada anak dan istrinya yang sedang menunggu nun jauh disana..
Rindu itu memang susah untuk tertahankan.. kadang hanya bisa terobati oleh suara orang tersayang di seberang sana. Tapi itupun suatu kemewahan bagi mereka...
Ya, suatu kemewahan.
Harga kartu telpon yang 'cuma' 10 dolar itu akan terasa mahal bagi mereka-mereka yang hidup bahkan hanya dengan 10 dolar seminggu... yang untuk berangkat harus berhutang, pergi jauh ke negeri orang terkadang tak paham bahasanya, untuk kemudian harus kerja super keras dan hidup super hemat demi bisa menabung mengirim uang bagi keluarganya di kampung dan melunasi uang ongkos pergi dahulu..
Teman saya ini menunduk lagi.. kali ini helaan nafasnya panjang... dihembuskan kuat-kuat... sepertinya ia terpaksa mengalah malam ini... rindu itu harus menunggu untuk ia obati nanti...
Ah, teman... apakah kau rasa rindu yang sama seperti yang sedang kurasa?
Rindu pada keluarga... Rindu pada anak dan istri nun jauh di sana....
Kudoakan teman.. semoga pengorbananmu ini tidak sia-sia.. semoga keluargamu baik-baik saja di sana... semoga kelak anak-anakmu tak harus alami kehidupan seperti Bapaknya...
Semoga teman... semoga... Amin..
Rose Lane 24, 11 Dec 06. 11.33 pm.
(Untuk teman-teman di rumah kontrakan perempatan TanjongKatong-Dunman Road. Semoga Allah ridha akan pengorbanan kalian semua. Amin.)
No comments:
Post a Comment